Struktur Kantor Yakkum: Agenda Yang Belum Selesai (Bagian Kedua)

Organisasi Kantor Yakkum dari Waktu ke Waktu

Organisasi Kantor Yakkum mengalami transformasi terus-menerus. Transformasi ini merupakan respon terhadap perkembangan internal dan eksternal organisasi. Perkembangan internal, yaitu peningkatan pelayanan unit-unit kerja dan perkembangan harapan gereja “pendiri” dan “pendukung”. Sedangkan perkembangan eksternal adalah regulasi pemerintah, perkembangan institusi pelayanan kesehatan: pemerintah dan swasta, dan perkembangan pelayanan kesehatan secara global.

Sebagai organisasi, Yakkum didirikan pada tahun 1950, sedangkan unit kerja RS sudah berdiri dan melaksanakan layanan kepada pasien dan masyarakat, oleh Badan Pekabaran Injil dari Belanda, jauh sebelum itu. Seluruh pembiayaan layanan, termasuk tenaga dokter dan perawat, disediakan dan dibiayai Badan tersebut pada saat itu. RS tertua yang dimiliki oleh Badan ini adalah RS Bethesda Yogyakarta, yang dulu bernama RS Petronella. Walau demikian, beberapa RS lain yang dikelola Badan ini, tidak berhimpun bersama dalam Yakkum, sebut saja antara lain RS Dr. Mawardi Surakarta dan RS dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten (dulu RS Tegalyoso). Kepemilikan dan pengelolaan dilakukan oleh pemerintah sekarang ini.

Pada zaman revolusi fisik,  RS yang dikelola Badan ini, kepemilikan dan pengelolaan diteruskan oleh Sinode Gereja Kristen Jawa (GKJ) dan Sinode Gereja Kristen Indonesia Wilayah Jawa Tengah (GKI Wilayah Jateng), yang juga dirintis oleh Badan Pekabaran Injil ini. Untuk kepentingan legalitas kepemilikan dan pengelolaan, kedua Sinode ini membentuk Jejasan Roemah-Roemah Sakit Kristen (JRSK) Djawa Tengah, yang kemudian berubah nama menjadi Yayasan Kristen Untuk Kesehatan Umum (Yakkum) pada tahun 1964.

Pada awal periodisasi kepengurusan Yayasan, organisasi Kantor Yakkum yang disebut Sekretariat Yakkum, tidak “serumit” yang sekarang. Ini sejalan dengan tantangan yang dihadapi Yakkum. Tantangan internal pada saat itu adalah terbatas pada pemenuhan ketentuan UU untuk legalitas kepemilikan RS dalam badan hukum Yayasan, dan sekaligus sarana konsolidasi RS.

Sejak awal Kantor Yakkum berada di Solo, yang dipimpin langsung oleh Sekretaris Pengurus. Jumlah staf dan karyawan pun hanya 1-2 orang saja. Bahkan pernah Sekretaris Pengurus, yang disebut Sekretaris Umum dijabat oleh salah seorang Direktur RS, yaitu  Dr. Gunawan, yang sekaligus menjadi Direktur RS Panti Waluyo Solo. Setelah itu,  Sekretaris Umum dijabat oleh tenaga purna waktu, yaitu Dr. Soetidjap Ngarso dan Dr. Adi Sutjipto, SKM.

Pada kedua periode ini, organisasi Kantor Yakkum dilengkapi dengan Biro-Biro yang membantu Sekretaris Umum di dalam melaksanakan fungsi dan peran  Pengurus Yakkum, yaitu Biro Umum, Keuangan, Perencanaan dan Pengembangan, Personalia, dan Hukum dan Harta Milik. Pekerjaan utama Biro-Biro ini membantu secara administrasi tugas-tugas Sekretaris Umum. Pada periode ini secara eksplisit diatur fungsi dan peran Gereja dalam organisasi dan pelayanan Yakkum. Sebelumnya, organisasi dan pelayanan Yakkum (dan unit kerja) diatur dan ditentukan oleh Pengurus, termasuk perubahan AD dan pergantian kepengurusan.

Dalam struktur ini, Sekretaris Umum memiliki fungsi dan peran yang cukup dominan, yaitu memimpin Yakkum keseharian atas nama Pengurus, pengeksekusi kebijakan Yakkum, dan memimpin sekretariat. Proses check and balancing sebagai salah satu indikator pengelolaan organisasi yang baik belum tertata dengan baik, seperti sekarang. Memang dalam AD disebutkan Sekretaris Umum bertanggung jawab kepada Pengurus, akan tetapi forum untuk pertanggung jawaban itu sangat terbatas. Pengurus hanya rapat sekali dalam 3 bulan. Sarana komunikasi, tidak seperti sekarang. Semua komunikasi harus dilaksanakan secara manual: bertemu langsung (tatap muka atau rapat), surat, telepon atau faksimili. Sementara domisili fungsionaris pengurus menyebar di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.

Karena itu, setelah era ini, penataan organisasi Yakkum terus dilakukan. Dua hal menonjol dalam penataan itu, yaitu keterlibatan Sinode Gereja dalam pemilihan pengurus dan pemisahan fungsi dan peran pengambil kebijakan (dalam diri pengurus) dan pengeksekusi. Struktur organisasi Pengurus disederhanakan menjadi Ketua I, Ketua II, Sekretaris I, Sekretaris II, Bendahara I, Bendahara II, dan anggota-anggota. Sedangkan eksekutif disebut Direktur Pelaksana. Penataan juga dilaksanakan terhadap struktur di Kantor Yakkum, yang diorientasikan kepada layanan kepada unit, disamping administrasi yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Eksekusi kebijakan pengurus dipimpin Direktur Pelaksana di Kantor Yakkum.

Reorganisasi Kantor Yakkum terus berlanjut setelah diundangkan UU Yayasan No. 16 tahun 2001 dan UU perubahannya No. 28 tahun 2004, dimana kelengkapan Yayasan dibedakan dan dipisahkan dalam 3 peran, dalam bentuk Organ Yayasan, yaitu pembina, pengurus dan pengawas. Diskusi mendalam terhadap pemahaman fungsi dan peran Pengurus, dalam 2 pengertian secara garis besar, yaitu: pengurus dalam arti board of governance atau pengurus dalam arti board of trustee. Kedua pemahaman ini memberikan implikasi besar terhadap fungsi dan peran eksekutif, baik itu di Kantor Yakkum maupun di unit kerja. Nampaknya, penafsiran yang digunakan cenderung kepada pengertian board of governance. 

Kecenderungan pemahaman fungsi dan peran pengurus kepada board of governance itu, bisa dipahami karena salah satu pasal dalam UU Yayasan, bahwa pengurus harus menanggung renteng terhadap masalah atau kerugian yang terjadi dalam Yayasan, padahal keterlibatan pengurus dalam Yayasan hanya bersifat paruh waktu, karena itu, siapapun yang menjadi pengurus Yayasan harus berpikir berkali-kali melepaskan dan mendelegasikan tanggung jawab itu kepada pihak lain karena berkaitan pada tanggung jawab pribadi pengurus itu sendiri. Kecenderungan untuk mengurus sendiri kebijakan dan kegiatan Yayasan secara kolektif tidak dapat dielakkan.

Disamping itu, keterlibatan di dalam kegiatan Yayasan sebagai konsekuensi dari pemahaman good governance, pengurus Yayasan memiliki pemahaman yang utuh dan berkesinambungan terhadap perkembangan Yayasan, daripada kalau hanya membaca dan mendengar laporan perkembangan Yayasan. Dengan mengikuti kedekatan secara intelektuan dan empati lebih bermakna dibanding kalau hanya mendengar dan membaca perkembangan saja.

Disini muncul persoalan, Pengurus bisa terjebak kepada hal-hal teknis dari Yayasan yang berorientasi pada jangkaun kerangka konseptual jangka pendek. Porsi perhatian kepada kebijakan strategis dalam perspektif yang lebih luas, termasuk membangun jejaring, menjadi berkurang. Pada pihak lain, tumpang tindah tugas dan peran Direktur Pelaksana kadang terjadi. Memang diselenggarakan rapat dan komunikasi intensif dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi, akan tetapi pengambilan keputusan yang bersifat kolektif kolegial cukup menyita waktu. Kebijakan dan keputusan strategis baru bisa diambil setelah bertemu berkali-kali. Kondisi seperti itu, cukup melelahkan dan merepotkan para pelaksana yang membutuhkan arah kebijakan yang lebih cepat. Tidak jarang, surat ataupun undangan yang membutuhkan jawaban segera, baru diterima disposisi respon setelah acara selesai. (bersambung)

 

 

 

    • Mas Nug
    • August 10th, 2015

    Bahasanya sangat lembut “Tidak berhimpun” bahasa lugasnya dirampas pemerintahan NKRI atau diambil alih paksa oleh pemerintah pak, kayak beberapa RS lain (RSU Eks RSK) seperti yg di Muntilan dan Magelang tapi itu masalalu yang saya juga tidak tahu kenapa ha ha ha

  1. No trackbacks yet.

Leave a comment